Pertunjukan Gerimis

Kalau kau peka, hari ini sedikit gerimis. Ditengah kesibukan orang yang berlalu-lalang dengan macam-macam bahan pembicaraan yang berbeda. Aku sedang kacau. Sakit mungkin lebih tepatnya. Hari ini terlalu lelah dengan segala kemauan orang yang terus menerus menuntut. Hari ini aku lebih memilih duduk di taman kota untuk memperhatikan sekitar. Memperhatikan, bukan hanya memandang. Kehabisan ide untuk menjalani kehidupanku. Sudah kubilang tadi, aku sedang kacau padahal banyak hal yang harus diselesaikan. Terkadang, perempuan sepertiku memerlukan waktu tersendiri untuk hanya duduk sendirian dengan memandang sekitar tanpa harus ada yang mengajak bicara. Bukan bersemedi tapi hanya mencoba untuk ngobrol dengan hati kecil yang seringnya diabaikan karena banyak keegoisan yang masuk. Ah, ada pemandangan indah rupanya. Aku sedang melihat seorang Ayah dengan anak perempuannya yang mungkin baru berumur 4 tahun. Anak itu sedang makan permen lolipop. Mereka tertawa. Anak itu digendong ke atas kemudian diturunkannya lagi ke bawah. Hal yang indah bukan? Aku sangat suka melihat adegan seorang Ayah dengan anak perempuannya yang akur. Ayah adalah sosok hebat dan gagah menurutku. Bukan perawakan, tapi hati para Ayah-lah yang hebat dan gagah. Mereka mau berkorban demi anaknya dan mampu menahan seluruh emosi mereka saat tau anaknya mulai menginjak umur dewasa dan mulai membantah atau keluar diam-diam dengan lelakinya yang lain. Padahal mungkin dalam hati, seorang Ayah akan mengingat bagaimana bahwa dulunya dialah yang membersihkan bekas makanan dimulutmu saat tidak ada lelaki lain yang sudi membersihkannya. Oh atau saat kau tidak bisa melakukan apapun selain menangis, kau dengan seenaknya mengompoli ayahmu sendiri? Itu hal yang tidak sopan padahal. Tapi ayahmu tidak marah. Beliau mungkin hanya tersenyum atau bahkan tertawa. Bukan memarahimu atau membentakmu seperti yang dilakukan kekasihmu saat kau kurang memperhatikannya misalnya. Ayahmu tidak protes saat kau tidak memperhatikannya kan? Jadi kenapa harus menangisi orang lain padahal belum bisa menangisi keadaan seorang Ayah? Aku baru sadar dengan kalimat ini. Seorang lelaki terhebat dan teromantis adalah Ayahku sendiri. Harusnya aku tidak boleh menduakannya bukan? Ah, anak kecil itu menangis. Permennya terjatuh. Kemudian ayahnya buru-buru menurunkannya dari gendongan. Nah bagian ini yang aku sebut romantis. Ayahnya mengusap air matanya, menenangkannya. Padahal ini hanya soal hal kecil, permen yang jatuh. Tapi aku bisa melihat kekhawatiran dan rasa bersalah dari raut wajahnya yang sudah tidak lagi muda. Anak itu digandeng dan diajak ke kedai kecil yang aku yakin untuk menggantikan permen yang jatuh tadi. Aku jadi rindu pulang. Kupejamkan sebentar mataku lalu menghirup nafas yang dalam. Aku jadi ingin menangis hahaha. Kubuka lagi mataku. Siapa itu? Kasihan sekali. Kali ini aku melihat seorang Kakek yang sudah cukup tua. Cukup untuk seharusnya tidak keluar di sore yang sedikit gerimis ini. Harusnya dia di dalam rumah yang hangat ditemani cucu, anak, atau saudaranya. Kuperhatikan lagi dengan seksama. Dia duduk sendiri di bangku panjang dekat papan pengumuman umum. Sedang membawa apa itu? Kue serabi. Dia tidak melihat makanannya, tapi melihat ke atas sambil seperti menghembuskan nafas. Kemudian dia melihat ke arah kue itu. Sedikit dimakannya sambil tidak berselera. Pakaian yang sederhana tapi tidak kumel. Air mataku menetes kemudian. Apakah aku harus menjadi anak yang nantinya membiarkan Ayahku untuk sendirian? Aku tidak setega itu. Nah, ini juga termasuk salah satu adegan yang aku tidak mampu melihatnya. Aku paling tidak tahan melihat seorang Kakek yang duduk sendirian dan sedang makan. Dia pasti butuh teman mengobrol kan? Kemana anaknya? Sudah lupa karena sudah sukses? Tidak ingat yang memberikan uang jajan untuk sekolah siapa? Mungkin ada beberapa keadaan Ayah yang nantinya akan menjadi Kakek ini menahan untuk tidak beli rokok, minum teh, atau minum kopi demi anaknya. Miris bukan? Kakek itu melihat makanannya sambil tersenyum tiba-tiba. Jangan kau kira orang gila. Aku cukup pandai untuk membedakan mana senyum tidak waras dan senyum keikhlasan kok. Aku bilang apa? Ayah itu sosok hebat dan gagah kan? Jika dia tidak gagah, tidak mungkin dia masih mampu bertahan dalam kesendirian. Dalam keprihatinan karena anaknya sendiri tidak mau peduli. Kakek membungkus lagi kue serabi yang belum habis. Kemudian berdiri, membenarkan jaketnya, lalu berjalan ke arah kanan sambil sedikit tertatih. Kau tahu? Aku ingin sekali memeluknya. Ingin sekali mengatakan bahwa masih ada yang memperhatikannya dan menyayanginya pasti. Hidup ini berjalan cepat dan cukup pahit ya tanpa adanya orang yang menyayangi kita disekitar kita? Hati kecilku berbicara. Dia menyuruhku untuk berjanji tidak akan mengabaikan orang tuaku saat sudah tua nanti. Perhatikan dan sayangi mereka. Aku akan sering-sering memeluk mereka dan mengatakan bahwa aku sangat menyayangi mereka. Aku bersyukur aku sudah dipasrahkan kepada orangtuaku oleh Penciptaku.
Sore yang singkat ini menonton 2 adegan indah bukan? Adegan yang fakta tanpa ada naskah yang mengaturnya. Ah, maaf. Ini pasti naskah Tuhan. Pikiranku kembali segar dan cerah.
Aku bocorkan sedikit masalahku ya? Bilang saja aku sedang sedikit patah hati. Bukan dengan Ayahku sayangnya. Tapi aku berpikir ulang. Dua cinta yang kulihat sore ini lebih pantas disebut cinta bukan? Mungkin Tuhan memang menakdirkanku untuk merasakan sakit ini lebih awal. Agar aku bisa membuka lagi mataku lebar-lebar bahwa aku belum pantas memikirkan cinta yang lain. Masih ada kewajiban mencintai yang belum aku laksanakan dengan baik dan bagus. Maafkan aku Tuhan, dan terimakasih banyak kau masih menganggap aku hamba-Mu dengan mempertunjukkan dua cerita hebat di sore gerimis ini.




ps: ini fiktif hehehe ._.v bukan pengalaman asli kok. tapi asli ideku :)

Comments

Popular posts from this blog

Milkshake Kesukaanku.